DEFINISI
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi. Lupus eritematosus sistemik merupakan prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri. Karakteristik primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. Lupus eritematosus sistemik melibatkan hampir semua organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.
ETIOLOGI
Hingga kini penyebabLupus eritematosus sistemikE belum diketahui dengan jelas. Namun diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.
PATOGENESIS
Mekanisme primerLupus eritematosus sistemikE adalah autoimunitas , suatu proses kompleks dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebutautoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B.
Pada sebagian besar pasie Lupus eritematosus sistemik E, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE. 3 Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada organ yang bersangkutan.
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung darah.
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal, namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan Lupus eritematosus sistemikE atau gangguan autoimun lainnya.
Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal.
Faktor Lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan.
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal.
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing dan memberikan respon autoimun.
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium.
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkanflare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level androgen yang abnormal. Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis dan perjalanan penyaki Lupus eritematosus sistemik E sangat bervariasi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi. Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai menggigil. Banyak wanita SLE menderita flare pada fase postovulasi dari siklus menstruasi, dan mengalami resolusi ketika telah terjadi haid.
Gejala Muskuloskletal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia (53-95%) dan biasanya mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya tanpa deformitas, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.
Gejala Mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi (55-90%). Pada bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.
Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler. Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola “full house“).
Sistem Saraf
Gangguan neurologik mengenai 25% penderita SLE. Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling umum, namun dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome, dan sakit kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan dan konsentrasi ringan.
Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). Keadaan tersebut dapat menimbulkan nyeri dan arithmia.
Respirasi
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi, virus jamur, tuberkulosis. Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam. Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.
Saluran Pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare. Radang traktus intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut, muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal.
Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tiba-tiba. Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.
DIAGNOSIS
Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11 manifestasi berikut (kriteria dari the American Rheumatism Association) :
- Eritema fasial (butterfly rash)
- Lesi diskoid
- Fotosensitivitas
- Oral ulcers
- Arthritis
- Serositis (pleuritis or perikarditis)
- Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)
- Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
- Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau limfopenia pada 2 atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)
- Gangguan Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA atau anti-Sm abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
- Abnormal ANA titer
PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan LES harus mencakup obat, diet, aktivitas yang melibatkan banyak ahli. Alat pemantau
pengobatan pasien LES adalah evaluasi klinis dan laboratoris yang sering untuk menyesuaikan obat
dan mengenali serta menangani aktivitas penyakit. Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya
pemantauan harus dilakukan selamanya.
Tujuan pengobatan LES adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki
kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang
dapat menyebabkan kematian. Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:
a. Antiinflamasi non-steroid
Untuk pengobatan simptomatik artralgia nyeri sendi).
b. Antimalaria
Diberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.
c. Kortikosteroid
Dosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis seperti demam, dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4
minggu minimal sebelum dilakukan penyapihan.
Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi hemolitik.
d. Obat imunosupresan/sitostatika
Imunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis difus dan membranosa, anemia
hemolitik akut, dan kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.
e. Obat antihipertensi
Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif
f. Kalsium
Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko untuk mengalami
osteopenia, karenanya memerlukan suplementasi kalsium.
pengobatan pasien LES adalah evaluasi klinis dan laboratoris yang sering untuk menyesuaikan obat
dan mengenali serta menangani aktivitas penyakit. Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya
pemantauan harus dilakukan selamanya.
Tujuan pengobatan LES adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki
kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang
dapat menyebabkan kematian. Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:
a. Antiinflamasi non-steroid
Untuk pengobatan simptomatik artralgia nyeri sendi).
b. Antimalaria
Diberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.
c. Kortikosteroid
Dosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis seperti demam, dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4
minggu minimal sebelum dilakukan penyapihan.
Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi hemolitik.
d. Obat imunosupresan/sitostatika
Imunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis difus dan membranosa, anemia
hemolitik akut, dan kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.
e. Obat antihipertensi
Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif
f. Kalsium
Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko untuk mengalami
osteopenia, karenanya memerlukan suplementasi kalsium.