Senin, 28 Mei 2012

Tuberkulosis Tulang

INFEKSI TUBERKULOSA PADA TULANG
Tuberkulosis sebagai suatu penyakit sistemik yang dapat menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sedi. Lesi pada tulang dan sendi hampir selalu disebabkan penyebaran hematogen dari kompleks primer pada bagian tubuh lain. Biasanya tejadi 6 – 36 bulan setelah infeksi primer, tetapi dapat saja timbul bertahun – tahun kemudian.
TUBERKULOSIS TULANG
Faktor predisposisi tuberkulosis adalah :
  1. Nutrisi dan sanitasi yang jelek
  2. Ras; banyak ditemukan pada orang – orang Asia, Meksiko, Indian dan Negro
  3. Trauma pada tulang dapat merupakan lokus minoris
  4. Umur : terutama ditemukan setelah umur satu tahu, paling sering pada umur 2 – 10 tahun
  5. Penyakit sebelumnya, seperti morbili dan varisella dapat memprovokasi kuman
  6. Masa pubertas dan kehamilan dapat mengaktifkan tuberkulosis
Patologi :
  • Kompleks Primer
Lesi primer biasanya pada paru – paru, faring atau usus dan kemudian melalui saluran limfe menyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer kompleks.
  • Penyebaran Sekunder
Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra – pulmoner.
  • Lesi Tersier
Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberkulosis paru akan menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus – kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi juga diperkirakan masih tinggi.
Predileksi :
Tuberkulosis sendi dan tulang terutama mengenai daerah tulang belakang ( 50 – 70 % ) dan sisanya pada sendi – sendi besar seperti panggul, lutut, pergelangan tangan, sendi bahu dan daerah persendian kecil.
OSTEOMIELITIS TUBERKULOSA
Osteomielitis tuberkulosa selalu merupakan penyebaran sekunder dari kelainan tuberkulosa di tempat lain, terutama paru – paru. Seperti pada osteomielitis hematogen akut, penyebaran infeksi juga terjadi secara hematogen dan biasanya mengenai anak – anak. Perbedaannya, osteomielitis hematogen akut umumnya terdapat pada daerah metafisis sementara osteomielitis tuberkulosa mengenai tulang belakang.
SPONDILITIS TUBERKULOSA ( POTT DISEASE )
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott ( 1793 ) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 (T10), dan paling jarang pada vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosa biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang mengenai arkus vertebra.
INSIDENS
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50 % dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70 % dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2 – 10 tahun dengan perbandingan yang sama antara wanita dan pria.
Sering mengenai vertebra 40 – 50 %, panggul 30% dan sendi lutut dan sendi – sendi lainnya. Dapat disertai dengan adanya tuberkulosis paru – paru.
ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90 – 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 5 – 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.
PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura.
Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dlam 5 stadium, yaitu :
1. Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium Destruksi Awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.
3. Stadium Destruksi Lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang terjadi 2 – 3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan ( wedging anterior ) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I            : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II           : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III          : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipestesi/anestesia
Derajat IV         : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif / sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
Derajat I – III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.
GAMBARAN KLINIS
Secara klinik gejala tuberculosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberculosis pada umumnya yaitu badan lemah lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat ( subfebris ) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak – anak sering disertai dengan menangis pada malam hari ( night cries ).
Pada tuberculosis vertebrae servikal ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravetebral, inguinal, poplitea atau bokong, adanya sinus pada daerah paravetebral atau penderita datang dengan gejala – gejala paraparesis, paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
  1. Peningkatan LED dan mungkin disertai dengan leukositosis
  2. uji mantoux positif
  3. pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikrobakterium
  4. biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
  5. pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
  • Pemeriksaan foto thorax untuk melihat adanya tuberkulosis paru
  • foto polos vertebrae, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebrae, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravetebral.
  • pada foto AP, abses paravetebral di daerah servikal berbentuk sarang burung ( bird’s nets ), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses berbentuk fusiform
  • pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebrae yang hebat sehingga timbul kifosis
  • pemeriksaan foto dengan zat kontras
  • pemeriksaan melografi dilakukan bila terdapat gejala – gejala penekanan sumsum tulang
  • pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi
  • pemeriksaan MRI
DIAGNOSIS
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu :
  1. pemeriksaan klinik dan neurologis lengkap
  2. foto tulang belakang posisi AP dan lateral
  3. foto polos toraks posisi PA
  4. uji mantoux
  5. biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa
DIAGNOSIS BANDING
Osteitis piogen Lebih cepat timbul demam
Poliomielitis Paresis / paralisis tungkai, skoliosis, dan bukan kifosis
Skoliosis idiopatik Tanpa gibus, tanpa paralisis
Penyakit paru dengan ( bekas ) empiema Tulang belakang bebas penyakit
Metastasis tulang belakang Tidak mengenai diskus, adakah karsinoma prostat
Kifosis senilis Kifosis tidak lokal, osteoporosis seluruh rangka
PENGOBATAN
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Pengobatan terdiri atas :
  1. Terapi konservatif berupa :
    1. Tirah baring
    2. memperbaiki keadaan umum penderita
    3. pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi maupun yang tidak dioperasi
    4. pemberian obat anti tuberkulosa
Obat – obatan yang diberikan terdiri atas :
  • Isonikotinik hidrasit ( INH ) dengan dosis oral 5 mg / kg BB per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak – anak 10 mg / kg BB.
  • Asam para amino salisilat. Dosis oral 8 – 12 mg / kg BB
  • Etambutol. Dosis oral 15- 25 mg /kg BB per hari
  • Rifampisin. Dosis oral 10 mg / kg BB diberikan pada anak – anak. Pada orang dewasa 300 – 400 mg per hari.
  • Sreptomisin. Pada saat ini tidak digunakan lagi.
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik.
Regimen yang dipergunakan di amerika dan eropa adalah INH dan Rifampisin selama 9 bulan atau INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilaknjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan. Di korea dberikan kombinasi antara INH + Rifampisin  selama 6 – 12 bulan atau INH + Etambutol selama 9 – 18 bulan.
Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-) / rontgen (+), diberikan dalam dua tahap, yaitu :
  • Tahap I, diberikan Rifampisin 450mg, Etambutol 750 mg, INH 300mg dan pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama          ( 60 kali )
  • Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan tiga kali seminggu ( intermiten ) selama 4 bulan ( 54 kali )
kategori 2
Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh / gagal pengobatan yang diberikan dalam 2 tahap, yaitu :
  • Tahap I, diberikan streptomisin 750 mg ( injeksi ), INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya diberikan 2 bulan pertama ( 60 kali ) dan obat lainnya selama 3 bulan ( 90 kali )
  • Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu ( intermiten ) selama 5 bulan ( 66 kali )
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila :
  • Keadaan umum penderita bertambah baik
  • Laju endap darah menurun dan menetap
  • gejala – gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
  • gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebrae
2. Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis  tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses ( abses dingin ), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Abses Dingin  ( cold abses )
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh  karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu :
  1. Debridemen fokal
  2. kosto-transveresektomi
  3. debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia yaitu :
  1. pengobatan dengan kemoterapi semata – mata
  2. laminektomi
  3. kosto – transveresektomi
  4. operasi radikal
  5. osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
INDIKASI OPERASI
Indikasi operasi yaitu :
  1. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan tuberkulostatik.
  2. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase secara terbuka dan sekaligus debridemen serta bone graft.
  3. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adnya penekanan langsung pada medula spinalis.
OPERASI KIFOSIS
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak –anak.
Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Rasjad Chairuddin. Infeksi dan Inflamasi. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang Lamumpatue; 2003. Hal. 144 – 149.
  2. Sapardan Subroto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  3. Samsuhidajat, Wim de Jong. Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, 2003,hlm 907 – 910.
  4. Apley & Solomon. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. Seventh Edition. Great Britain : Bath Press, Avon;1993.
  5. www.scielo.br
  6. http://rds.yahoo.com
  7. http://brighamrad.harvard.edu
  8. http://www.meddean.luc

Osteomyelitis

Osteomyelitis adalah merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang yang disebabkan bakteri pyogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus di tempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
Osteomyelitis hematogen akut
Merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang akut yang disebabkan bakteri pyogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus di tempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah. Sering ditemukan pada anak-anak dan sangat jarang pada orang dewasa. Diagnosis yang dini sangat penting, oleh karena prognosis tergantung dari pengobatan yang tepat dan segera.
Etiologi
Faktor predisposisi
1. Umur, terutama mengenai bayi dan anak-anak
2. Jenis kelamin; lebih sering pada laki-laki
3. Trauma; hematoma akibat trauma pada daerah metafisis
4. Lokasi; pada daerah metafisis, karena merupakan daerah aktif terjadinya pertumbuhan tulang
5. Nutrisi; lingkungan dan imunitas yang buruk serta adanya fokus infeksi sebelumnya
Osteomyelitis hematogen akut dapat disebabkan oleh :
1. Staphylococcus aureus β-hemolyticus
2. Haemophylus influenzae, pada anak dibawah umur 4 tahun
3. Organisme lain, seperti E. coli, Pseudomonas aeruginosa, proteus mirabilis dan lain-lain.
Patologi dan patogenesis
Penyebaran osteomyelitis terjadi melalui dua cara, yaitu :
1. Penyebaran umum
· Melalui sirkulasi darah berupa bakteriemi dan septikemi,
· Melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah lain.
2. Penyebaran local
  • Subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periosteum,
  • Selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai dibawah kulit,
  • Penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis septic.
  • Penyebaran ke medulla tulang sekitarnya sehingga system sirkulasi dalam tulang terganggu. Hal ini menyebabkan kematian tulang local dengan terbentuknya tulang mati (sekuester)
Teori terjadinya infeksi pada daerah metafisis yaitu :
1. Teori vascular (Trueta)
Pembuluh darah pada daerah metafisis berkelok-kelok, membentuk sinus-sinus dengan akibat aliran darah menjadi lebih lambat. Aliran ini akan menyebabkan mudahnya bakteri untuk berkembang biak.
2. Teori fagositosis (Rang)
Daerah metafisis merupakan daerah pembentukan RES. Bila terjadi infeksi, bakteri akan difagosit oleh sel-sel fagosit matur di tempat ini. Meskipun demikian, di daerah ini terdapat juga sel-sel fagosit immatur yang tidak dapat memfagosit bakteri, sehingga beberapa bakteri tidak difagositer dan berkembang biak di daerah ini.
3. Teori trauma
Bila trauma artificial dilakukan pada binatang percobaan maka akan terjadi hematoma pada daerah lempeng epifisis. Dengan penyuntkkan bakteri secara intravena, akan terjadi infeksi pada daerah hematoma tersebut..
Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut tergantung pada factor predisposisi. Infeksi terjadi melalui sirkulasi dari focus di tempat lain dalam tubuh pada fase bakteriemi dan dapat menimbulkan septicemia. Embolus infeksi kemudian masuk kedalam juksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Fase selanjutnya terjadi hyperemia dan edema di daerah metafisis disertai pembentukkan pus. Terbentuknya pus dalam tulang dimana jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang bertambahsehingga akan mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada sirkulasi tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. Disamping proses yang itu, pembentukkan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam periosteum sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum didalamnya. Proses ini terlihat pada akhir minggu ke dua. Apabila pus menembus tulang maka terjadi pengaliran pus dari involucrum melalui lubang yang disebut kloaka/sinus jaringan lunak dan kulit.
Pada tahap selanjutnya, penyakit akan berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang kronis (abses Brodie).
Bedasarkan umur dan pola vaskularisasi pada daerah metafisis dan epifisis, trueta membagi proses patologi pada osteomyelitis hematogen akut atas tiga jenis :
1. Bayi
Adanya pola vaskularisasi foetal menyebabkan penyebaran infeksi dari metafisis dan epifisis dengan masuk kedalam sendi, sehingga seluruh tulang termasuk sendi dapat terkena.lempeng epifisis biasanya lebih resisten terhadap infeksi.
2. Anak
Dengan terbentuknya lempeng epifisis serta osifikasi yang sempurna, resiko infeksi pada epifisis berkurang karena lempeng epifisis merupakan barier terhadap infeksi. Selain itu, tidak ada hubungan vaskularisasi yang berarti antara metafisis dan epifisis. Infeksi pada sendi hanya dapat terjadi bila ada infeksi intraartikular.
3. Dewasa
Osteomyelitis hematogen akut sangat jarang terjadi karena lempeng epifisis telah hilang. Walaupun infeksi dapat menyebar ke epifisis, namun infeksi intraartikuler sangat terjadi. Abses subperiosteal juga sulit terjadi karena periosteum melekat erat dengan korteks.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis osteomielitis hematogen tergantung dari stadium patogenesis dari penyakit. Osteomielitis hematogen akut berkembang secara progresif/cepat. Pada keadaan ini mungkin dapat ditemukan adanya infeksi bacterial pada kulit dan saluran nafas bagian atas.Gejala dapat berupa nyeri yang konstan pada daerah infeksi, nyeri tekan dan terdapat gangguam anggota gerak yang bersangkutan.
Gejala umum timbul akibat bakteremia dan septicemia, berupa :
· Panas tinggi,
· Nafsu makan berkurang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
· Nyeri tekan
· Gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan bertambah berat jika terjadi spasme local. Gangguan sendi juga dapat disebabkan oleh efusi sendi atau infeksi sendi (arthritis septic)
Pada orang dewasa lokalisasi infeksi biasanya pada daerah vertebra torako-lumbal yang terjadi akibat torakosintesis atau akibat prosedur urologis dan dapat ditemukan adanya riwayat kencing manis, malnutrisi, adiksi obat-obatan atau pengobatan dengan imuno supresif.
Pemeriksaan Laboratorium :
  1. Pemeriksaan Darah
· Sel darah putih meningkat sampai 30.000 disertai peningkatan LED.
· Pemeriksaan titer antibody anti stafilokokus.
· Pemeriksaan Kultur darah untuk menentukan jenis bakterinya (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas. Juga harus diperiksa adanya penyakit anemia sel sabit yang merupakan jenis osteomielitis yang jarang.
  1. Pemeriksaan feses
Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri salmonella.
  1. Pemeriksaan biopsy
Dilakukan pada tempat yang dicurigai .
  1. Pemeriksaan Ultrasound
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
  1. Pemeriksaan radiologist
Pemeriksaan foto polos dalam 10 hari pertama, tidak ditemukan kelainan radiologist yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak. Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah 10 hari berupa rarefraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan pembentukan tulang baru dibawah periosteum yang terangkat.
Komplikasi :
  1. Septikemia
  2. Infeksi yang bersifat metastatik
  3. Artritis supuratif
  4. Gangguan pertumbuhan
  5. Osteomielitis kronis
Diagnosa Banding :
  1. Selulitis
  2. Artritis supuratif akut
  3. Demam reumatik
  4. Krisis sel sabit
  5. Penyakit gaucher
  6. Tumor Ewing.
Pengobatan :
  1. Istirahat dan pemberian analgesic
  2. Pemberian cairan intravena dan kalau perlu transfuse darah
  3. Istirahat local dengan bidai atau traksi
  4. Pemberian Antibiotik secepatnya sesuai dengan penyebab utama yaitu Stafilokokus aureus, sambil menunggu hasil biakan kuman. Antibiotic diberikan 3-6 minggu, Antibiotik tetap diberikan 2 minggu setelah LED normal.
  5. Drainase Bedah, dilakukan apabila setelah 24 jam pengobatan local dan sistemik antibiotic gagal (tidak ada perbaikan KU), drainase dilakukan selama beberapa hari dengan menggunakan cairan NaCl dan dengan antibiotic.
Osteomyelitis Hematogen Subacute
Gejala Osteomyelitis hematogen subacute lebih ringan oleh karena organisme yang menyebabkan kurang purulen dan penderita lebih resisten
Etiologi
Osteomyelitis hematogen subacute biasanya disebabkan oleh staphylococcus aureus dan umumnya berlokasi dibagian distal femur dan proksimal tibia.
Patologi
Biasanya terdapat cavitas dengan batas tegas pada tulang kanselosa dan mengandung cairan semipurulen. Kavitas dilingkari oleh jaringan granulasi yang terdiri dari sel-sel inflamasi acute dan kronik dan biasanya terdapat penebalan trabekula
Gambaran Klinis
  • Atrofi otot
  • Nyeri local
  • Sedikit pembengkakan
  • Dan dapat pula penderita menjadi pincang
  • Terdapat rasa nyeri pada daerah sekitar sendi selama beberapa minggu atau mungkin berbulan-bulan.
  • Suhu tubuh penderita biasanya normal
Diagnosis
Foto roentgen biasanya ditemukan kavitas berdiameter 1-2 cm, terutama pada daerah metafisis dari tibia dan femur atau kadang-kadang pada daerah diafisis tulang panjang.
Pemeriksaan labratorium
  • Leukosit normal
  • LED meningkat
Pengobatan
Pengobatan yang diberikan berupa pemberian antibiotic yang adekuat selam 6 minggu, apabila diagnosis ragu-ragu, maka dapat dilakukan biopsy dan kuretase.
Osteomyelitis Sklerosing/Garre
Adalah suatu osteomyelitis subacute dan terdapat kavitas yang dikelilingi jaringan sclerotic pada daerah metafisis, dan diaphisis tulang panjang. Penderita biasanya remaja dan orang dewasa, terdapat rasa nyeri dan sedikit pembengkakan pada tulang
Pemeriksaan radiologist
Terlihat adanya kavitas yang dilingkari jaringan sklerotis dan tidak ditemukan kavitas yang sentral, hanya berupa suatu cavitas yang difus.
Pengobatan
· Eksisi
· Kuretase
Osteomyelitis Pasca Trauma
Osteomyelitis akibat fraktur terbuka merupakan osteomylitis yang paling sering ditemukan pada orang dewasa. Pada suatu fraktur terbuka dapat ditemukan kerusakan jaringan, kerusakan pembuluh darah, edema, hematoma dan hubungan antara fraktur dan dunia luar. Sehingga pada fraktur terbuka umumnya menjadi infeksi,
Etiologi
Staphylokokus aureus, E. Colli, pseudomonas dan kadang-kadang oleh bakteri anaerobic, seperti clostridium, streptococcus anaerob atau bakteriodes.
Gambaran Klinis
· Demam
· Nyeri
· Pembengkakan pada daerah fraktur
· Dan sekresi pus pada luka
Laboratorium
Pada fraktur terbuka perlu dilakukan pemeriksaan biakan kuman guna menentukan kuman penyebabnya, pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis dan peningkatan LED.
Pengobatan
Prinsip penanganan pada kelainan ini sama dengan osteomyelitis lainnya, pada fraktur terbuka sebaiknya dilakukan pencegahan infeksi melalui pembersihan dan debridement luka. Luka dibiarkan terbuka dan diberikan antibiotic adekuat.
Osteomyelitis Pasca Operasi
Osteomyelitis jenis ini terjadi setelah suatu operasi tulang (terutama pada operasi yang menggunakan implant), dimana invasi bakteri disebabkan oleh lingkungan bedah. Gejala infeksi dapat timbul segera setelah operasi atau beberapa bulan kemudian
Osteomyelitis pasca operasi yang paling ditakuti adalah osteomyelitis setelah suatu operasi artoplasty. Pada keadaan ini pencegahan lebih penting dari pada pegobatan.
Pengobatan
Pada operasi tanpa implant : pengobatannya sama dengan ostemyelitis post trauma dengan kerusakan jaringan yang sedikit.
Pada fraktur yang difiksasi internal : Antibiotik IV dengan dosis besar, bila ada abses harus didrainase dan luka dibiarkan terbuka sampai bersih, jika gagal eksisi bagiang yang infeksi dan nekrosis, dan diirigasi dengan antibiotic secara intermitten dan suction drainasse mungkin dapat mengontrol infeksi dan mencegah terjadinya osteomyelitis kronis.
Osteomyelitis Kronis
Osteomyelitis kronis umumnya merupakan lanjutan dari osteomyelitis akut yang tidak terdiagnosis, atau tidak diobati dengan baik. Osteomyelitis kronis dapat juga terjadi setelah fraktur terbuka atau setelah operasi pada tulang
Etiologi
Bakteri penyebab osteomyelitis kronis terutama oleh staphylokokus aureus atau E. Colli, proteus, pseudomonas. Staphylokokus epidermidis merupakan penyebab utama osteomyelitis kronis pada operasi-operasi orthopedic yang menggunakan implant.
Patologi dan Patogeneses
Infeksi tulang dapat menyebabkan terjadinya sekuestrum yang menghambat terjadinya resolusi dan penyembuhan spontan yang normal pada tulang. Sekustrum ini merupakan benda asing bagi tulang dan mencegah terjadinya penutupan kloaka (pada tulang) dan sinus (pada kulita) sekuetrum diselimuti oleh involucrum yang tidak dapat keluar atau dibersihkan dari medulla tulang kecuali dengan tindakan operasi. Proses selanjutnya terjadi destruksi dan sclerosis tulang yang dapat ditunjukanan melalui foto roentgen.
Gambaran klinis
  • Keluarnya cairan dari luka atau sinus setelah operasi, yang bersifat menahun.
  • Demam
  • Nyeri local yang hilang timbul didaerah anggota gerak tertentu
  • Pada Pemeriksaan Fisik : adanya sinus, fistel, atau sikatrik bekas operasi dengan nyeri tekan, mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang menonjol keluar melalui kulit.
  • Biasanya terdapat riwayat fraktur terbuka atau osteomyelitis pada penderita
Laboratorium
  • Peningkatan LED
  • Leukositosis
  • Peningkatan titer antibody anti staphylococcus
  • Pemeriksaan kultur dan uji sensitifitas diperlukan untuk menentukan organisme penyebabnya
Pemeriksaan radiologist
  • Foto polos : ditemukan tanda-tanda porosis dan sclerosis tulang, penebalan periost, elevasi periosteum dan mungkin adanya sekuetrum
  • Radiology scanning : membantu menegakkan diagnosis osteomyelitis kronis.
  • CT Scan dan MRI : bermanfaat untuk membuat rencana pengobatan serta untuk melihat sejauh mana kerusakan tulang yang terjadi.
Pengobatan
1. Pemberian antibiotic : untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi pada tulang sehat lainnya, mengontrol eksaserbasi akut
2. Tindakan opertif : dilakukan bila fase eksaserbasi akut telah reda, setelah pemberian antibotik yang adekuat, operasi yang dilakukan bertujuan untuk mengeluarkan seluruh jaringan nekrotik, baik jaringan lunak maupun jaringan tulang (sekuestrum) sampai jaringan sehat sekitarnya. Selanjutnya dilakukan drainasse kemudian irigasi secara kontinu selama beberapa hari. Adakalanya diperlukan penanaman rantai antibiotic didalam bagian tulang yang infeksi. Sebagai dekompresi pada tulang dan memudahkan antibiotik mencapai sasaran dan mencegah penyebaran osteomyelitis lebih lanjut.
Komplikasi
1. Kontraktur sendi
2. Penyakit ameloid
3. Fraktur patologis
4. Perubahan menjadi ganas pada jaringan epidermis
5. Kerusakan epiphisis sehingga terjadi gangguan pertumbuhan.
INFEKSI TUBERKULOSA
Tuberkolosis Tulang dan Sendi
Faktor predisposisi tuberculosis adalah :
- Nutrisi dan sanitasi yang jelek
- Ras ; banyak ditemukan pada orang Asia, Meksiko, Indian dan Negro
- Trauma pada tulang dapat merupakan lokus minoris
- Umur ; terutama ditemukan setelah umur satu tahun, paling sering pada umur 2-10 tahun.
- Penyakit sebelumnya, seperti morbili dan varisela dapat memprovokasi kuman.
- Masa kehamilan dan pubertas dapat mengaktifkan tuberculosis.
Patologi :
1. Primer kompleks
Lesi primer biasanya pada paru-paru, faring atau usus dan kemudian pada saluran limfe menyebar ke limfonodus regional dan disebut sebagai kompleks primer
2. Penyebaran Sekunder
Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah menghasilkan tuberculosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra-pulmoner.
3. Lesi tersier
Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberculosis paru akan menyebar dan berakhir sebagai tuberculosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus-kasus tuberculosis paru masih tinggi dan kasus tuberculosis tulang dan sendi juga diperkirakan masih tinggi.
Osteomyelitis Tuberkulosa.
Osteomyelitis tuberkulosa selalu merupakan penyebaran sekunder dari kelainan tuberkulosa dari tempat lain terutama dari paru-paru.Seperti pada osteomyelitis hematogen akut, penyebaran infeksi juga terjadi secara hematogen dan biasanya mengenai anak-anak.Perbedaannya, osteomyelitis hematogen akut umumnya terdapat pada daerah metafisis sementara osteomyelitis tuberkulosa terutama mengenai daerah tulang belakang.
Spondilitis Tuberkulosa (Penyakit Pott)
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari focus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott ( 1793) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan menyatakan terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga penyakit Pott.
Insidens
Spondilitis tuberkulosa mrupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang terjadi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2-10 tahun engan perbandingan yang sama antara wanita dan pria.
Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di tempat lain dari tubuh.90-95 % disebabkan oleh M.tuberculosis typik, 5-10 % oleh M.tuberkulosis atypik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yang penyebabnya melalui vena paravertebralis.
Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral bagian depan atau daerah epifisial corpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan corpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada kortek epifisis, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan corpus ini akan menyebabkan kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, caseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi.
Gambaran Klinis
n Riwayat sakit lama (tulang belakang )
n Cold abces, paresthesia, weakness, gangguan vegetatif
Pemeriksaan Fisik
· Look : deformitas berupa gibbus
adanya abses ( cold abcess )
· Feel : Teraba tnjolan di tulang belakang
Adanya fluktuasi abses
Gangguan sensoris
· Move : Terbatasnya gerak tulang
Berkurangnya kekuatan otot
Pemeriksaan Penunjang
  • LED meningkat
  • Mantoux test (+)
  • Biopsi jarum
  • PCR
Radiologis
  • Adanya destruksi corpus vertebra
  • Angulasi ke posterior (gibbus)
  • Paravertebral abses
  • Penyempitan disus intervertebralis
Penatalaksanaan
Tujuan :
- Eradikasi
- Perbaiki deformitas
- Cegah komplikasi
Konservatif
  • Bed rest
  • Perbaiki KU
  • Pemasangan brace
  • Obat TB : Rifampicin : Dosis oral10mg/KgBB per hari
Pirazinamid : maximal dose 1500 mg
INH : Dosis oral 5 mg/KgBB per hari.
Etambutol : Dosis oral 15-25 mg/KgBB per hari
Standar pengobatan terbagi dua kategori, yaitu :
1. Kategori I
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/Rontgen (+), diberikan dalam dua tahap, yakni :
· Tahap I : Diberikan Rifampicin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama dua bulan pertama (60 kali)
· Tahap II : Diberikan Rifampicin 450 mg, INH 600 mg. Obat diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama empat bulan (54 kali)
2. Kategori II
Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama lebih dari sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal, yang diberikan dalam dua tahap, yaitu :
· Tahap I : Diberikan Streptomycin 750 mg (injeksi), INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari, Streptomycin injeksi hanya dua bulan pertama, dan obat lainnya selama tiga bulan (90 kali)
· Tahap II : Diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama lima bulan (66 kali)
Kriteria penghentian penggunaan obat dilakukan apabila :
1. Keadaan Umum penderita bertambah baik.
2. LED menurun
3. Gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
4. Gambaran radiologis ditemukan adanya union pada vertebrae yang terserang.
Syarat Konservatif :
n Tidak ada abses
n Tidak adadefisit neurologis
n Tidak ada kifosis
Operatif
Ø Anterior dan posterior fusi
Ø Dilanjutkan pemakaian brace → 6 bln
Diagnosa Banding
Tumor metastase : pada tumor metastase terdapat discus intact
Komplikasi
PARAPLEGI ( Pott’s paraplegia )
DAFTAR PUSTAKA
- Rasjad, Chairudin Prof., Ph.D., Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Makassar:2000
- Apley AG, Solomon, Louis, et.al. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, Ed. 8, Arnold, London:2001