Osteomyelitis
adalah merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang yang disebabkan
bakteri pyogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus di tempat lain
dan beredar melalui sirkulasi darah.
Osteomyelitis hematogen akut
Merupakan
infeksi tulang dan sumsum tulang akut yang disebabkan bakteri pyogen
dimana mikroorganisme berasal dari fokus di tempat lain dan beredar
melalui sirkulasi darah. Sering ditemukan pada anak-anak dan sangat
jarang pada orang dewasa. Diagnosis yang dini sangat penting, oleh
karena prognosis tergantung dari pengobatan yang tepat dan segera.
Etiologi
Faktor predisposisi
1. Umur, terutama mengenai bayi dan anak-anak
2. Jenis kelamin; lebih sering pada laki-laki
3. Trauma; hematoma akibat trauma pada daerah metafisis
4. Lokasi; pada daerah metafisis, karena merupakan daerah aktif terjadinya pertumbuhan tulang
5. Nutrisi; lingkungan dan imunitas yang buruk serta adanya fokus infeksi sebelumnya
Osteomyelitis hematogen akut dapat disebabkan oleh :
1. Staphylococcus aureus β-hemolyticus
2. Haemophylus influenzae, pada anak dibawah umur 4 tahun
3. Organisme lain, seperti E. coli, Pseudomonas aeruginosa, proteus mirabilis dan lain-lain.
Patologi dan patogenesis
Penyebaran osteomyelitis terjadi melalui dua cara, yaitu :
1. Penyebaran umum
· Melalui sirkulasi darah berupa bakteriemi dan septikemi,
· Melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah lain.
2. Penyebaran local
- Subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periosteum,
- Selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai dibawah kulit,
- Penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis septic.
- Penyebaran ke medulla tulang sekitarnya sehingga system sirkulasi dalam tulang terganggu. Hal ini menyebabkan kematian tulang local dengan terbentuknya tulang mati (sekuester)
Teori terjadinya infeksi pada daerah metafisis yaitu :
1. Teori vascular (Trueta)
Pembuluh
darah pada daerah metafisis berkelok-kelok, membentuk sinus-sinus
dengan akibat aliran darah menjadi lebih lambat. Aliran ini akan
menyebabkan mudahnya bakteri untuk berkembang biak.
2. Teori fagositosis (Rang)
Daerah
metafisis merupakan daerah pembentukan RES. Bila terjadi infeksi,
bakteri akan difagosit oleh sel-sel fagosit matur di tempat ini.
Meskipun demikian, di daerah ini terdapat juga sel-sel fagosit immatur
yang tidak dapat memfagosit bakteri, sehingga beberapa bakteri tidak
difagositer dan berkembang biak di daerah ini.
3. Teori trauma
Bila
trauma artificial dilakukan pada binatang percobaan maka akan terjadi
hematoma pada daerah lempeng epifisis. Dengan penyuntkkan bakteri secara
intravena, akan terjadi infeksi pada daerah hematoma tersebut..
Patologi
yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut tergantung pada factor
predisposisi. Infeksi terjadi melalui sirkulasi dari focus di tempat
lain dalam tubuh pada fase bakteriemi dan dapat menimbulkan septicemia.
Embolus infeksi kemudian masuk kedalam juksta epifisis pada daerah
metafisis tulang panjang. Fase selanjutnya terjadi hyperemia dan edema
di daerah metafisis disertai pembentukkan pus. Terbentuknya pus dalam
tulang dimana jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan
tekanan dalam tulang bertambahsehingga akan mengakibatkan terganggunya
sirkulasi dan timbul trombosis pada sirkulasi tulang yang akhirnya
menyebabkan nekrosis tulang. Disamping proses yang itu, pembentukkan
tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam periosteum
sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu
lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involucrum
dengan jaringan sekuestrum didalamnya. Proses ini terlihat pada akhir
minggu ke dua. Apabila pus menembus tulang maka terjadi pengaliran pus
dari involucrum melalui lubang yang disebut kloaka/sinus jaringan lunak
dan kulit.
Pada
tahap selanjutnya, penyakit akan berkembang menjadi osteomyelitis
kronis. Pada daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta
diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang kronis (abses
Brodie).
Bedasarkan umur dan pola vaskularisasi pada daerah metafisis dan epifisis, trueta membagi proses patologi pada osteomyelitis hematogen akut atas tiga jenis :
1. Bayi
Adanya
pola vaskularisasi foetal menyebabkan penyebaran infeksi dari metafisis
dan epifisis dengan masuk kedalam sendi, sehingga seluruh tulang
termasuk sendi dapat terkena.lempeng epifisis biasanya lebih resisten
terhadap infeksi.
2. Anak
Dengan
terbentuknya lempeng epifisis serta osifikasi yang sempurna, resiko
infeksi pada epifisis berkurang karena lempeng epifisis merupakan barier
terhadap infeksi. Selain itu, tidak ada hubungan vaskularisasi yang
berarti antara metafisis dan epifisis. Infeksi pada sendi hanya dapat
terjadi bila ada infeksi intraartikular.
3. Dewasa
Osteomyelitis
hematogen akut sangat jarang terjadi karena lempeng epifisis telah
hilang. Walaupun infeksi dapat menyebar ke epifisis, namun infeksi
intraartikuler sangat terjadi. Abses subperiosteal juga sulit terjadi
karena periosteum melekat erat dengan korteks.
Gambaran Klinis
Gambaran
klinis osteomielitis hematogen tergantung dari stadium patogenesis dari
penyakit. Osteomielitis hematogen akut berkembang secara
progresif/cepat. Pada keadaan ini mungkin dapat ditemukan adanya infeksi
bacterial pada kulit dan saluran nafas bagian atas.Gejala dapat berupa
nyeri yang konstan pada daerah infeksi, nyeri tekan dan terdapat
gangguam anggota gerak yang bersangkutan.
Gejala umum timbul akibat bakteremia dan septicemia, berupa :
· Panas tinggi,
· Nafsu makan berkurang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
· Nyeri tekan
· Gangguan
pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan
bertambah berat jika terjadi spasme local. Gangguan sendi juga dapat
disebabkan oleh efusi sendi atau infeksi sendi (arthritis septic)
Pada
orang dewasa lokalisasi infeksi biasanya pada daerah vertebra
torako-lumbal yang terjadi akibat torakosintesis atau akibat prosedur
urologis dan dapat ditemukan adanya riwayat kencing manis, malnutrisi,
adiksi obat-obatan atau pengobatan dengan imuno supresif.
Pemeriksaan Laboratorium :
- Pemeriksaan Darah
· Sel darah putih meningkat sampai 30.000 disertai peningkatan LED.
· Pemeriksaan titer antibody anti stafilokokus.
· Pemeriksaan
Kultur darah untuk menentukan jenis bakterinya (50% positif) dan
diikuti dengan uji sensitivitas. Juga harus diperiksa adanya penyakit
anemia sel sabit yang merupakan jenis osteomielitis yang jarang.
- Pemeriksaan feses
Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri salmonella.
- Pemeriksaan biopsy
Dilakukan pada tempat yang dicurigai .
- Pemeriksaan Ultrasound
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
- Pemeriksaan radiologist
Pemeriksaan
foto polos dalam 10 hari pertama, tidak ditemukan kelainan radiologist
yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak.
Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah 10 hari berupa
rarefraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan
pembentukan tulang baru dibawah periosteum yang terangkat.
Komplikasi :
- Septikemia
- Infeksi yang bersifat metastatik
- Artritis supuratif
- Gangguan pertumbuhan
- Osteomielitis kronis
Diagnosa Banding :
- Selulitis
- Artritis supuratif akut
- Demam reumatik
- Krisis sel sabit
- Penyakit gaucher
- Tumor Ewing.
Pengobatan :
- Istirahat dan pemberian analgesic
- Pemberian cairan intravena dan kalau perlu transfuse darah
- Istirahat local dengan bidai atau traksi
- Pemberian Antibiotik secepatnya sesuai dengan penyebab utama yaitu Stafilokokus aureus, sambil menunggu hasil biakan kuman. Antibiotic diberikan 3-6 minggu, Antibiotik tetap diberikan 2 minggu setelah LED normal.
- Drainase Bedah, dilakukan apabila setelah 24 jam pengobatan local dan sistemik antibiotic gagal (tidak ada perbaikan KU), drainase dilakukan selama beberapa hari dengan menggunakan cairan NaCl dan dengan antibiotic.
Osteomyelitis Hematogen Subacute
Gejala
Osteomyelitis hematogen subacute lebih ringan oleh karena organisme
yang menyebabkan kurang purulen dan penderita lebih resisten
Etiologi
Osteomyelitis
hematogen subacute biasanya disebabkan oleh staphylococcus aureus dan
umumnya berlokasi dibagian distal femur dan proksimal tibia.
Patologi
Biasanya
terdapat cavitas dengan batas tegas pada tulang kanselosa dan
mengandung cairan semipurulen. Kavitas dilingkari oleh jaringan
granulasi yang terdiri dari sel-sel inflamasi acute dan kronik dan
biasanya terdapat penebalan trabekula
Gambaran Klinis
- Atrofi otot
- Nyeri local
- Sedikit pembengkakan
- Dan dapat pula penderita menjadi pincang
- Terdapat rasa nyeri pada daerah sekitar sendi selama beberapa minggu atau mungkin berbulan-bulan.
- Suhu tubuh penderita biasanya normal
Diagnosis
Foto
roentgen biasanya ditemukan kavitas berdiameter 1-2 cm, terutama pada
daerah metafisis dari tibia dan femur atau kadang-kadang pada daerah
diafisis tulang panjang.
Pemeriksaan labratorium
- Leukosit normal
- LED meningkat
Pengobatan
Pengobatan
yang diberikan berupa pemberian antibiotic yang adekuat selam 6 minggu,
apabila diagnosis ragu-ragu, maka dapat dilakukan biopsy dan kuretase.
Osteomyelitis Sklerosing/Garre
Adalah
suatu osteomyelitis subacute dan terdapat kavitas yang dikelilingi
jaringan sclerotic pada daerah metafisis, dan diaphisis tulang panjang.
Penderita biasanya remaja dan orang dewasa, terdapat rasa nyeri dan
sedikit pembengkakan pada tulang
Pemeriksaan radiologist
Terlihat
adanya kavitas yang dilingkari jaringan sklerotis dan tidak ditemukan
kavitas yang sentral, hanya berupa suatu cavitas yang difus.
Pengobatan
· Eksisi
· Kuretase
Osteomyelitis Pasca Trauma
Osteomyelitis
akibat fraktur terbuka merupakan osteomylitis yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa. Pada suatu fraktur terbuka dapat ditemukan
kerusakan jaringan, kerusakan pembuluh darah, edema, hematoma dan
hubungan antara fraktur dan dunia luar. Sehingga pada fraktur terbuka
umumnya menjadi infeksi,
Etiologi
Staphylokokus
aureus, E. Colli, pseudomonas dan kadang-kadang oleh bakteri anaerobic,
seperti clostridium, streptococcus anaerob atau bakteriodes.
Gambaran Klinis
· Demam
· Nyeri
· Pembengkakan pada daerah fraktur
· Dan sekresi pus pada luka
Laboratorium
Pada
fraktur terbuka perlu dilakukan pemeriksaan biakan kuman guna
menentukan kuman penyebabnya, pada pemeriksaan darah ditemukan
leukositosis dan peningkatan LED.
Pengobatan
Prinsip
penanganan pada kelainan ini sama dengan osteomyelitis lainnya, pada
fraktur terbuka sebaiknya dilakukan pencegahan infeksi melalui
pembersihan dan debridement luka. Luka dibiarkan terbuka dan diberikan
antibiotic adekuat.
Osteomyelitis Pasca Operasi
Osteomyelitis
jenis ini terjadi setelah suatu operasi tulang (terutama pada operasi
yang menggunakan implant), dimana invasi bakteri disebabkan oleh
lingkungan bedah. Gejala infeksi dapat timbul segera setelah operasi
atau beberapa bulan kemudian
Osteomyelitis
pasca operasi yang paling ditakuti adalah osteomyelitis setelah suatu
operasi artoplasty. Pada keadaan ini pencegahan lebih penting dari pada
pegobatan.
Pengobatan
Pada operasi tanpa implant : pengobatannya sama dengan ostemyelitis post trauma dengan kerusakan jaringan yang sedikit.
Pada
fraktur yang difiksasi internal : Antibiotik IV dengan dosis besar,
bila ada abses harus didrainase dan luka dibiarkan terbuka sampai
bersih, jika gagal eksisi bagiang yang infeksi dan nekrosis, dan
diirigasi dengan antibiotic secara intermitten dan suction drainasse
mungkin dapat mengontrol infeksi dan mencegah terjadinya osteomyelitis
kronis.
Osteomyelitis Kronis
Osteomyelitis
kronis umumnya merupakan lanjutan dari osteomyelitis akut yang tidak
terdiagnosis, atau tidak diobati dengan baik. Osteomyelitis kronis dapat
juga terjadi setelah fraktur terbuka atau setelah operasi pada tulang
Etiologi
Bakteri
penyebab osteomyelitis kronis terutama oleh staphylokokus aureus atau
E. Colli, proteus, pseudomonas. Staphylokokus epidermidis merupakan
penyebab utama osteomyelitis kronis pada operasi-operasi orthopedic yang
menggunakan implant.
Patologi dan Patogeneses
Infeksi
tulang dapat menyebabkan terjadinya sekuestrum yang menghambat
terjadinya resolusi dan penyembuhan spontan yang normal pada tulang.
Sekustrum ini merupakan benda asing bagi tulang dan mencegah terjadinya
penutupan kloaka (pada tulang) dan sinus (pada kulita) sekuetrum
diselimuti oleh involucrum yang tidak dapat keluar atau dibersihkan dari
medulla tulang kecuali dengan tindakan operasi. Proses selanjutnya
terjadi destruksi dan sclerosis tulang yang dapat ditunjukanan melalui
foto roentgen.
Gambaran klinis
- Keluarnya cairan dari luka atau sinus setelah operasi, yang bersifat menahun.
- Demam
- Nyeri local yang hilang timbul didaerah anggota gerak tertentu
- Pada Pemeriksaan Fisik : adanya sinus, fistel, atau sikatrik bekas operasi dengan nyeri tekan, mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang menonjol keluar melalui kulit.
- Biasanya terdapat riwayat fraktur terbuka atau osteomyelitis pada penderita
Laboratorium
- Peningkatan LED
- Leukositosis
- Peningkatan titer antibody anti staphylococcus
- Pemeriksaan kultur dan uji sensitifitas diperlukan untuk menentukan organisme penyebabnya
Pemeriksaan radiologist
- Foto polos : ditemukan tanda-tanda porosis dan sclerosis tulang, penebalan periost, elevasi periosteum dan mungkin adanya sekuetrum
- Radiology scanning : membantu menegakkan diagnosis osteomyelitis kronis.
- CT Scan dan MRI : bermanfaat untuk membuat rencana pengobatan serta untuk melihat sejauh mana kerusakan tulang yang terjadi.
Pengobatan
1. Pemberian antibiotic : untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi pada tulang sehat lainnya, mengontrol eksaserbasi akut
2. Tindakan
opertif : dilakukan bila fase eksaserbasi akut telah reda, setelah
pemberian antibotik yang adekuat, operasi yang dilakukan bertujuan untuk
mengeluarkan seluruh jaringan nekrotik, baik jaringan lunak maupun
jaringan tulang (sekuestrum) sampai jaringan sehat sekitarnya.
Selanjutnya dilakukan drainasse kemudian irigasi secara kontinu selama
beberapa hari. Adakalanya diperlukan penanaman rantai antibiotic didalam
bagian tulang yang infeksi. Sebagai dekompresi pada tulang dan
memudahkan antibiotik mencapai sasaran dan mencegah penyebaran
osteomyelitis lebih lanjut.
Komplikasi
1. Kontraktur sendi
2. Penyakit ameloid
3. Fraktur patologis
4. Perubahan menjadi ganas pada jaringan epidermis
5. Kerusakan epiphisis sehingga terjadi gangguan pertumbuhan.
INFEKSI TUBERKULOSA
Tuberkolosis Tulang dan Sendi
Faktor predisposisi tuberculosis adalah :
- Nutrisi dan sanitasi yang jelek
- Ras ; banyak ditemukan pada orang Asia, Meksiko, Indian dan Negro
- Trauma pada tulang dapat merupakan lokus minoris
- Umur ; terutama ditemukan setelah umur satu tahun, paling sering pada umur 2-10 tahun.
- Penyakit sebelumnya, seperti morbili dan varisela dapat memprovokasi kuman.
- Masa kehamilan dan pubertas dapat mengaktifkan tuberculosis.
Patologi :
1. Primer kompleks
Lesi
primer biasanya pada paru-paru, faring atau usus dan kemudian pada
saluran limfe menyebar ke limfonodus regional dan disebut sebagai
kompleks primer
2. Penyebaran Sekunder
Bila
daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui
sirkulasi darah menghasilkan tuberculosis milier dan meningitis.
Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun
kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra-pulmoner.
3. Lesi tersier
Tulang
dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari
tuberculosis paru akan menyebar dan berakhir sebagai tuberculosis sendi
dan tulang. Pada saat ini kasus-kasus tuberculosis paru masih tinggi dan
kasus tuberculosis tulang dan sendi juga diperkirakan masih tinggi.
Osteomyelitis Tuberkulosa.
Osteomyelitis
tuberkulosa selalu merupakan penyebaran sekunder dari kelainan
tuberkulosa dari tempat lain terutama dari paru-paru.Seperti pada
osteomyelitis hematogen akut, penyebaran infeksi juga terjadi secara
hematogen dan biasanya mengenai anak-anak.Perbedaannya, osteomyelitis
hematogen akut umumnya terdapat pada daerah metafisis sementara
osteomyelitis tuberkulosa terutama mengenai daerah tulang belakang.
Spondilitis Tuberkulosa (Penyakit Pott)
Tuberkulosis
tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh
mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu
merupakan infeksi sekunder dari focus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (
1793) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan menyatakan
terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang
yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga penyakit Pott.
Insidens
Spondilitis
tuberkulosa mrupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi
yang terjadi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok
umur 2-10 tahun engan perbandingan yang sama antara wanita dan pria.
Etiologi
Tuberkulosis
tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di tempat
lain dari tubuh.90-95 % disebabkan oleh M.tuberculosis typik, 5-10 %
oleh M.tuberkulosis atypik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama
pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga
adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yang
penyebabnya melalui vena paravertebralis.
Patofisiologi
Penyakit
ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal
dari bagian sentral bagian depan atau daerah epifisial corpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan corpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada kortek epifisis,
discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian
depan corpus ini akan menyebabkan kifosis.
Kemudian
eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, caseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan
berekspansi.
Gambaran Klinis
n Riwayat sakit lama (tulang belakang )
n Cold abces, paresthesia, weakness, gangguan vegetatif
Pemeriksaan Fisik
· Look : deformitas berupa gibbus
adanya abses ( cold abcess )
· Feel : Teraba tnjolan di tulang belakang
Adanya fluktuasi abses
Gangguan sensoris
· Move : Terbatasnya gerak tulang
Berkurangnya kekuatan otot
Pemeriksaan Penunjang
- LED meningkat
- Mantoux test (+)
- Biopsi jarum
- PCR
Radiologis
- Adanya destruksi corpus vertebra
- Angulasi ke posterior (gibbus)
- Paravertebral abses
- Penyempitan disus intervertebralis
Penatalaksanaan
Tujuan :
- Eradikasi
- Perbaiki deformitas
- Cegah komplikasi
Konservatif
- Bed rest
- Perbaiki KU
- Pemasangan brace
- Obat TB : Rifampicin : Dosis oral10mg/KgBB per hari
Pirazinamid : maximal dose 1500 mg
INH : Dosis oral 5 mg/KgBB per hari.
Etambutol : Dosis oral 15-25 mg/KgBB per hari
Standar pengobatan terbagi dua kategori, yaitu :
1. Kategori I
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/Rontgen (+), diberikan dalam dua tahap, yakni :
· Tahap
I : Diberikan Rifampicin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan
Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama dua bulan pertama
(60 kali)
· Tahap II : Diberikan Rifampicin 450 mg, INH 600 mg. Obat diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama empat bulan (54 kali)
2. Kategori II
Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama
lebih dari sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal,
yang diberikan dalam dua tahap, yaitu :
· Tahap
I : Diberikan Streptomycin 750 mg (injeksi), INH 300 mg, Rifampisin 450
mg, Pirazinamid 1500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap
hari, Streptomycin injeksi hanya dua bulan pertama, dan obat lainnya
selama tiga bulan (90 kali)
·
Tahap II : Diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol
1250 mg. Obat diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama lima
bulan (66 kali)
Kriteria penghentian penggunaan obat dilakukan apabila :
1. Keadaan Umum penderita bertambah baik.
2. LED menurun
3. Gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
4. Gambaran radiologis ditemukan adanya union pada vertebrae yang terserang.
Syarat Konservatif :
n Tidak ada abses
n Tidak adadefisit neurologis
n Tidak ada kifosis
Operatif
Ø Anterior dan posterior fusi
Ø Dilanjutkan pemakaian brace → 6 bln
Diagnosa Banding
Tumor metastase : pada tumor metastase terdapat discus intact
Komplikasi
PARAPLEGI ( Pott’s paraplegia )
DAFTAR PUSTAKA
- Rasjad, Chairudin Prof., Ph.D., Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Makassar:2000
- Apley AG, Solomon, Louis, et.al. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, Ed. 8, Arnold, London:2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar