Senin, 28 Mei 2012

Tuberkulosis Tulang

INFEKSI TUBERKULOSA PADA TULANG
Tuberkulosis sebagai suatu penyakit sistemik yang dapat menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sedi. Lesi pada tulang dan sendi hampir selalu disebabkan penyebaran hematogen dari kompleks primer pada bagian tubuh lain. Biasanya tejadi 6 – 36 bulan setelah infeksi primer, tetapi dapat saja timbul bertahun – tahun kemudian.
TUBERKULOSIS TULANG
Faktor predisposisi tuberkulosis adalah :
  1. Nutrisi dan sanitasi yang jelek
  2. Ras; banyak ditemukan pada orang – orang Asia, Meksiko, Indian dan Negro
  3. Trauma pada tulang dapat merupakan lokus minoris
  4. Umur : terutama ditemukan setelah umur satu tahu, paling sering pada umur 2 – 10 tahun
  5. Penyakit sebelumnya, seperti morbili dan varisella dapat memprovokasi kuman
  6. Masa pubertas dan kehamilan dapat mengaktifkan tuberkulosis
Patologi :
  • Kompleks Primer
Lesi primer biasanya pada paru – paru, faring atau usus dan kemudian melalui saluran limfe menyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer kompleks.
  • Penyebaran Sekunder
Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra – pulmoner.
  • Lesi Tersier
Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberkulosis paru akan menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus – kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi juga diperkirakan masih tinggi.
Predileksi :
Tuberkulosis sendi dan tulang terutama mengenai daerah tulang belakang ( 50 – 70 % ) dan sisanya pada sendi – sendi besar seperti panggul, lutut, pergelangan tangan, sendi bahu dan daerah persendian kecil.
OSTEOMIELITIS TUBERKULOSA
Osteomielitis tuberkulosa selalu merupakan penyebaran sekunder dari kelainan tuberkulosa di tempat lain, terutama paru – paru. Seperti pada osteomielitis hematogen akut, penyebaran infeksi juga terjadi secara hematogen dan biasanya mengenai anak – anak. Perbedaannya, osteomielitis hematogen akut umumnya terdapat pada daerah metafisis sementara osteomielitis tuberkulosa mengenai tulang belakang.
SPONDILITIS TUBERKULOSA ( POTT DISEASE )
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott ( 1793 ) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 (T10), dan paling jarang pada vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosa biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang mengenai arkus vertebra.
INSIDENS
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50 % dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70 % dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2 – 10 tahun dengan perbandingan yang sama antara wanita dan pria.
Sering mengenai vertebra 40 – 50 %, panggul 30% dan sendi lutut dan sendi – sendi lainnya. Dapat disertai dengan adanya tuberkulosis paru – paru.
ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90 – 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 5 – 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.
PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura.
Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dlam 5 stadium, yaitu :
1. Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium Destruksi Awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.
3. Stadium Destruksi Lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang terjadi 2 – 3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan ( wedging anterior ) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I            : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II           : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III          : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipestesi/anestesia
Derajat IV         : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif / sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
Derajat I – III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.
GAMBARAN KLINIS
Secara klinik gejala tuberculosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberculosis pada umumnya yaitu badan lemah lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat ( subfebris ) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak – anak sering disertai dengan menangis pada malam hari ( night cries ).
Pada tuberculosis vertebrae servikal ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravetebral, inguinal, poplitea atau bokong, adanya sinus pada daerah paravetebral atau penderita datang dengan gejala – gejala paraparesis, paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
  1. Peningkatan LED dan mungkin disertai dengan leukositosis
  2. uji mantoux positif
  3. pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikrobakterium
  4. biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
  5. pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
  • Pemeriksaan foto thorax untuk melihat adanya tuberkulosis paru
  • foto polos vertebrae, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebrae, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravetebral.
  • pada foto AP, abses paravetebral di daerah servikal berbentuk sarang burung ( bird’s nets ), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses berbentuk fusiform
  • pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebrae yang hebat sehingga timbul kifosis
  • pemeriksaan foto dengan zat kontras
  • pemeriksaan melografi dilakukan bila terdapat gejala – gejala penekanan sumsum tulang
  • pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi
  • pemeriksaan MRI
DIAGNOSIS
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu :
  1. pemeriksaan klinik dan neurologis lengkap
  2. foto tulang belakang posisi AP dan lateral
  3. foto polos toraks posisi PA
  4. uji mantoux
  5. biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa
DIAGNOSIS BANDING
Osteitis piogen Lebih cepat timbul demam
Poliomielitis Paresis / paralisis tungkai, skoliosis, dan bukan kifosis
Skoliosis idiopatik Tanpa gibus, tanpa paralisis
Penyakit paru dengan ( bekas ) empiema Tulang belakang bebas penyakit
Metastasis tulang belakang Tidak mengenai diskus, adakah karsinoma prostat
Kifosis senilis Kifosis tidak lokal, osteoporosis seluruh rangka
PENGOBATAN
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Pengobatan terdiri atas :
  1. Terapi konservatif berupa :
    1. Tirah baring
    2. memperbaiki keadaan umum penderita
    3. pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi maupun yang tidak dioperasi
    4. pemberian obat anti tuberkulosa
Obat – obatan yang diberikan terdiri atas :
  • Isonikotinik hidrasit ( INH ) dengan dosis oral 5 mg / kg BB per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak – anak 10 mg / kg BB.
  • Asam para amino salisilat. Dosis oral 8 – 12 mg / kg BB
  • Etambutol. Dosis oral 15- 25 mg /kg BB per hari
  • Rifampisin. Dosis oral 10 mg / kg BB diberikan pada anak – anak. Pada orang dewasa 300 – 400 mg per hari.
  • Sreptomisin. Pada saat ini tidak digunakan lagi.
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik.
Regimen yang dipergunakan di amerika dan eropa adalah INH dan Rifampisin selama 9 bulan atau INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilaknjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan. Di korea dberikan kombinasi antara INH + Rifampisin  selama 6 – 12 bulan atau INH + Etambutol selama 9 – 18 bulan.
Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-) / rontgen (+), diberikan dalam dua tahap, yaitu :
  • Tahap I, diberikan Rifampisin 450mg, Etambutol 750 mg, INH 300mg dan pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama          ( 60 kali )
  • Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan tiga kali seminggu ( intermiten ) selama 4 bulan ( 54 kali )
kategori 2
Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh / gagal pengobatan yang diberikan dalam 2 tahap, yaitu :
  • Tahap I, diberikan streptomisin 750 mg ( injeksi ), INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya diberikan 2 bulan pertama ( 60 kali ) dan obat lainnya selama 3 bulan ( 90 kali )
  • Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu ( intermiten ) selama 5 bulan ( 66 kali )
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila :
  • Keadaan umum penderita bertambah baik
  • Laju endap darah menurun dan menetap
  • gejala – gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
  • gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebrae
2. Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis  tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses ( abses dingin ), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Abses Dingin  ( cold abses )
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh  karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu :
  1. Debridemen fokal
  2. kosto-transveresektomi
  3. debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia yaitu :
  1. pengobatan dengan kemoterapi semata – mata
  2. laminektomi
  3. kosto – transveresektomi
  4. operasi radikal
  5. osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
INDIKASI OPERASI
Indikasi operasi yaitu :
  1. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan tuberkulostatik.
  2. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase secara terbuka dan sekaligus debridemen serta bone graft.
  3. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adnya penekanan langsung pada medula spinalis.
OPERASI KIFOSIS
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak –anak.
Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Rasjad Chairuddin. Infeksi dan Inflamasi. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang Lamumpatue; 2003. Hal. 144 – 149.
  2. Sapardan Subroto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  3. Samsuhidajat, Wim de Jong. Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, 2003,hlm 907 – 910.
  4. Apley & Solomon. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. Seventh Edition. Great Britain : Bath Press, Avon;1993.
  5. www.scielo.br
  6. http://rds.yahoo.com
  7. http://brighamrad.harvard.edu
  8. http://www.meddean.luc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar